Berikut adalah bahasan Safinatun Naja mengenal tanda baligh, istinjak, rukun wudhu, dan cara wudhu.
Syarh: Nail Ar-Raja’ bi Syarh Safinah An-Naja karya Al-‘Allamah Al-Faqih As-Sayyid Ahmad bin ‘Umar Asy-Syatiri
[Tanda Baligh]
عَلاَمَاتُ الْبُلُوْغِ ثَلاَثٌ:
1- تَمَامُ خَمْسَ عَشْرَةَ سَنَةً فِيْ الذَّكَّرِ وَالأُنْثَى.
وَ2- الاحْتِلاَمُ فِيْ الذَّكَرِ وَالأُنْثَى لِتِسْعِ سِنِيْنَ.
وَ3- الْحَيْضُ فِيْ الأُنْثَى لِتِسْعِ سِنِيْنَ.
Fasal: Tanda baligh ada tiga, yaitu [1] umur 15 tahun sempurna bagi lelaki maupun perempuan. [2] ihtilam (mimpi basah) bagi lelaki maupun perempuan yang (biasanya) berumur 9 tahun, dan [3] haidh bagi perempuan yang (biasanya) berumur 9 tahun.
Faedah:
Kalau tanda itu ada, maka dikatakan baligh. Namun, jika tidak ada, belum tentu tidak baligh. Karena bisa jadi tidak mimpi basah (ihtilam), masih ada tanda lainnya.
Ihtilam artiya imna’, yaitu keluar mani ketika bangun tidur.
Patokan untuk umur tadi adalah kalender qamariyyah (hijriyah).
Haidh adalah darah normal yang keluar dari rahim wanita pada waktu tertentu.
Patokan sembilan tahun adalah umumnya, bisa jadi kurang dari itu atau lebih.
[Syarat Istinja]
شُرُوْطُ إِجْزَاءِ الْحَجَرِ ثَمَانِيَةٌ:
1- أنْ يَكُوْنَ بِثَلاَثةِ أَحْجَارٍ.
وَ2- أنْ يُنْقِيَ الْمَحَلَّ.
وَ3- أنْ لاَ يَجِفَّ النَجَسُ.
وَ4- أَنْ لاَ يَنْتَقِلَ.
وَ5- لاَ يَطْرَأَ عَلَيْهِ آخَرُ.
وَ6- أَنْ لاَ يُجَاوِزَ صَفْحَتَهُ وَحَشَفَتَهُ.
وَ7- أَنْ لاَ يُصِيْبَهُ مَاءٌ.
وَ8- أنْ تَكُوْنَ الأَحْجَارُ طَاهِرَةً.
Fasal: Syarat sah bersuci dengan batu (istinja) ada 8, yaitu: [1] jumlah batunya tiga, [2] membersihkan tempat najis, [3] najisnya belum kering, [4] najis belum berpindah tempat, [5] tidak tercampur dengan najis lain, [6] tidak melampaui ash-shafhah (daerah yang tertutup dari kedua pantat saat berdiri) dan hasyafah (daerah/kuncup yang nampak dari kemaluan lelaki setelah dikhitan), [7] tidak terkena air, dan [8] batu tersebut haruslah suci.
Catatan:
Dalil tentang istinja’ dengan batu (istijmar)
عَنْ سَلْمَانَ قَالَ قِيلَ لَهُ قَدْ عَلَّمَكُمْ نَبِيُّكُمْ -صلى الله عليه وسلم- كُلَّ شَىْءٍ حَتَّى الْخِرَاءَةَ. قَالَ فَقَالَ أَجَلْ لَقَدْ نَهَانَا أَنْ نَسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةَ لِغَائِطٍ أَوْ بَوْلٍ أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِىَ بِالْيَمِينِ أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِىَ بِأَقَلَّ مِنْ ثَلاَثَةِ أَحْجَارٍ أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِىَ بِرَجِيعٍ أَوْ بِعَظْمٍ
Dari Salman, ia berkata bahwa ada yang bertanya padanya, “Apakah nabi kalian mengajarkan kepada kalian segala sesuatu sampai pun dalam hal buang kotoran?” Salman menjawab, “Iya. Nabi kami shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang kami menghadap kiblat ketika buang air besar maupun air kecil. Beliau juga melarang kami beristinja’ dengan tangan kanan. Beliau juga melarang kami beristinja’ dengan kurang dari tiga batu. Begitu pula kami dilarang beristinja’ dengan menggunakan kotoran dan tulang.” (HR. Muslim, no. 262)
Istinjak secara bahasa berarti al-qath’u (memotong). Secara istilah syari, istinjak berarti menghilangkan sesuatu yang keluar berupa najis yang mengotori dari farji (kemaluan) dan dibersihkan pada kemaluan dengan menggunakan air atau batu.
Hukum istinjak:
- Wajib, jika yang keluar berupa najis yang mengotori.
- Sunnah, jika yang keluar berupa benda padat (jaamid).
- Makruh, jika yang keluar berupa angin.
- Mubah, jika yang keluar berupa keringat.
- Haram, jika yang keluar berupa maghsub (harta rampasan).
Cara yang paling utama adalah menggunakan air dan batu bersamaan, dimulai dengan menggunakan batu lalu diikuti dengan air, maka sudah dinyatakan mendapat sunnah dengan menggunakan benda jaamid (padat) walaupun najis.
Jika ingin memilih batu ataukah air, lebih utama memilih air. Air itu sifatnya: (1) menghilangkan bentuk, (2) menghilangkan bekas.
Apabila memulai istinjak dengan air, lalu ingin beristinjak dengan menggunakan batu, maka hal itu tidak disunnahkan karena tidak ada faedahnya.
Yang dimaksud batu di sini adalah:
- Jaamid thahir, benda padat yang suci.
- Qaali’, dapat mengangkat najis.
- Ghairu muhtarom, tidak dihormati (dimuliakan) syariat. Contoh: tidak boleh istinjak menggunakan buku dan makanan.
Syarat sahnya istinja’ jika hanya menggunakan batu saja ada delapan:
1- أنْ يَكُوْنَ بِثَلاَثةِ أَحْجَارٍ.
[1] jumlah batunya tiga
Yang dimaksud adalah tiga kali usapan, jumlah batu bukanlah syarat. Apabila seseorang mengusap dengan tiga sisi batu atau mengusap dengan tiga usapan dari satu sisi dan satu batu, dengan cara dibasuh dan dikeringkan setelah setiap kali mengusap, seperti itu dibolehkan dan sah.
وَ2- أنْ يُنْقِيَ الْمَحَلَّ.
[2] membersihkan tempat najis
Maksud tempat (al-mahall) di sini adalah bagian ash-shafhah (bagian dubur yang tertutup ketika berdiri) dan hasyafah (kemaluan laki-laki), serta bagian zhahir kemaluan wanita.
Syarat kedua istinjak dengan batu adalah orang yang beristinjak harus dapat membersihkan tempat tersebut hingga tidak tersisa kecuali atsar (bekas najis) yang tidak dapat hilang kecuali dengan kain atau air. Apabila setelah tiga usapan yang wajib ternyata tempat tersebut belum bersih, maka wajib ditambah usapannya hingga bersih.
وَ3- أنْ لاَ يَجِفَّ النَجَسُ.
[3] najisnya belum kering
Maksudnya adalah sesuatu yang keluar tidak mengering seluruhnya atau sebagian di antaranya, hingga tidak dapat diangkat oleh batu. Najis yang keluar hendaklah masih basah atau kering yang masih dapat diangkat oleh batu.
وَ4- أَنْ لاَ يَنْتَقِلَ.
[4] najis belum berpindah tempat
Maksudnya adalah najis yang keluar tidak berpindah dari tempatnya berada ketika keluar, walaupun belum melampaui ash-shafhah dan hasyafah.
وَ5- لاَ يَطْرَأَ عَلَيْهِ آخَرُ.
[5] tidak tercampur dengan najis lain
Maksudnya adalah najis yang keluar tidak bercampur dengan benda yang bukan jenisnya, yaitu selain keringat. Apabila telah bercampur dengan selain jenisnya, walaupun setelah istinjak dengan batu, maka wajib menggunakan air, baik benda yang bercampur itu basah (seperti air dan kencing) atau kering yang najis seperti kotoran atau suci seperti debu.
Imam Ar-Ramli berpendapat lain tentang benda yang bercampur jika kering dan suci, beliau mengatakan tetap sah istinjaknya.
وَ6- أَنْ لاَ يُجَاوِزَ صَفْحَتَهُ وَحَشَفَتَهُ.
[6] tidak melampaui ash-shafhah (daerah yang tertutup dari kedua pantat saat berdiri) dan hasyafah (daerah/kuncup yang nampak dari kemaluan lelaki setelah dikhitan)
Maksudnya adalah kotoran najis tidak melampaui bagian shafhah dan air kencing tidak melebihi hasyafah atau tidak melebihi vagina perempuan.
وَ7- أَنْ لاَ يُصِيْبَهُ مَاءٌ.
[7] tidak terkena air
Maksudnya adalah najis yang keluar tidak terkena air, walaupun untuk menyucikannya.
وَ8- أنْ تَكُوْنَ الأَحْجَارُ طَاهِرَةً.
[8] batu tersebut haruslah suci.
Maksudnya adalah batu yang digunakan untuk istinjak harus suci. Sehingga apabila menggunakan sesuatu yang najis atau benda yang terkena najis tidaklah sah.
[Rukun Wudhu]
فُرُوْضُ الْوُضُوْءِ سِتَّةٌ:
الأَوَّلُ: النِّيَّةُ.
الثَّانِيْ:غَسْلُ الْوَجْهِ.
الثَّالِثُ: غَسْلُ الْيَدَيْنِ مَعَ الْمِرْفَقَيْنِ.
الرَّابعُ: مَسْحُ شَيْءٍ مِنَ الرَّأْسِ.
الْخَامِسُ: غَسْلُ الرِّجْلَيْنِ مَعَ الْكَعْبَيْنِ.
السَّادِسُ: التَّرْتِيْبُ.
Fasal: Fardhu (rukun) wudhu ada enam, yaitu: [1] niat, [2] membasuh wajah, [3] membasuh dua tangan hingga siku, [4] mengusap sebagian kepala, [5] membasuh dua kaki hingga mata-kaki, dan [6] tertib (berurutan).
Catatan:
Ayat yang membicarakan tentang wudhu
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” (QS. Al-Maidah: 6)
Wudhu secara bahasa berarti membasuh sebagian anggota tubuh, diambil dari kata wadho’ah, yaitu kebaikan dan keindahan.
Secara istilah syari, wudhu adalah:
اِسْمٌ لِغُسْلِ أَعْضَاءٍ مَخْصُوْصَةٍ بِنِيَّةٍ مَخْصُوْصَةٍ
membasuh sebagian anggota tubuh tertentu dengan niat tertentu.
الأَوَّلُ: النِّيَّةُ.
[1] niat
Niat secara bahasa berarti al-qashdu, keinginan.
Niat adalah:
قَصْدُ الشَّيْءِ مُقْتَرِنًا بِفِعْلِهِ
qashdus syai’ muqtarinan bi fi’lihi, berkeinginan pada sesuatu yang bersamaan dengan perbuatannya.
Tempat niat: dalam hati.
Waktunya: awal melakukan ibadah kecuali amalan puasa.
Cara-cara niat itu berbeda-beda sesuai ibadah yang diniatkan.
Syarat-syarat niat itu ada enam:
- Orang yang berniat adalah muslim
- Orang yang berniat sudah tamyiz.
- Mengetahui apa yang diniatkan.
- Tidak ada menafikan.
- Tidak dikaitkan (ta’liq) untuk memutuskan niat dengan sesuatu
- Tidak ada keraguan dalam memutuskan niat.
Maksud niat:
- membedakan adat (kebiasaan) dan ibadah, seperti duduk di masjid bisa diniatkan iktikaf atau beristirahat.
- membedakan tingkatan ibadah, seperti ibadah fardhu dari sunnah.
Niat wudhu adalah:
- mengangkat hadats kecil, atau
- bersuci untuk shalat, atau
- bersuci untuk menjalankan wajib wudhu.
Niat di atas berlaku jika tidak terdapat hadats terus menerus (da-imul hadats). Namun, ketika ada hadats terus menerus, maka niatnya adalah istibah fardhash shalah (diperbolehkan fardhu shalat) atau semacamnya.
Niat itu dimulai pada mencuci wajah.
الثَّانِيْ:غَسْلُ الْوَجْهِ.
[2] membasuh wajah
Wajah itu dari ujung tumbuhnya rambut kepala dan akhir lahyayni (dagu), lebarnya antara dua telinga. Lahyayni yaitu tulang tumbuh gigi bawah.
Wajah disebut demikian karena digunakan untuk bertatap muka.
Yang dimaksud adalah membasuh wajah baik kulit dan rambutnya. Maka wajib menyampaikan air hingga ke bagian dalam rambut yang tebal atau tipis. Kecuali bagian jenggot (lihyah) dan cambang (‘aaridh) laki-laki yang tebal, cukup dibasahi bagian luarnya saja.
Jenggot yang tebal (al-katsif) adalah jenggot yang kulitnya tidak terlihat saat sedang berhadapan dan bercakap.
Bagian zhahir jenggot yang tebal adalah bagian rambut teratas yang sejajar wajahnya, ini wajib dibasuh. Sedangkan bagian dalam jenggot tidaklah wajib dibasuh.
Rambut wajah itu ada 20:
- Ghamam (الغَمَمُ), yaitu rambut yang tumbuh di dahi.
2, 3. Haajibaan (الحَاجِبَانِ), yaitu rambut yang tumbuh di atas kedua mata. Kita sebut dengan alis.
4, 5. Khoddaan (الخَدَّانِ) yaitu rambut yang tumbuh di pipi dinamakan sesuai nama tempat tumbuhnya. Kita sebut dengan rambut pada pipi.
6, 7. Sibaalan (السِّبَالاَنِ), yaitu rambut yang tumbuh di ujung kumis.
8, 9. ‘Aaridhoon (العَارِضَانِ), yaitu rambut yang tumbuh di bagian bawah telinga yang menurun ke bawah hingga dagu. Ini kita sebut dengan cambang.
10, 11. ‘Idzaroon (العِذَارَانِ), yaitu rambut yang tumbuh di antara ash-shudgh (pelipis) dan ‘aaridh (cambang) yang sejajar dengan kedua telinga.
12, 13, 14, 15. Ahdaab (الأَهْدَابُ الأَرْبَعَةُ), yaitu rambut yang tumbuh di pelopak mata. Ini disebut dengan bulu mata.
- Lihyah (اللِّحْيَةُ), yaitu rambut yang tumbuh di dagu. Kita sebut dengan jenggot.
- Syaarib (الشَّارِبُ), yaitu rambut yang tumbuh di bibir atas. Kita sebut dengan kumis.
- ‘Anfaqoh (العَنْفَقَةُ), yaitu rambut yang tumbuh di bibir bawah.
19, 20. Nafakataan (النَّفَكَتَانِ), yaitu rambut yang tumbuh di bibir bawah di antara ‘anfaqoh.
(Nail Ar-Raja’ bi Syarh Safinah An-Naja, hlm. 133-134)
الثَّالِثُ: غَسْلُ الْيَدَيْنِ مَعَ الْمِرْفَقَيْنِ.
[3] membasuh dua tangan hingga siku
Al-yadd secara bahasa berarti dari ujung jari hingga Pundak. Secara syari, al-yadd adalah dari ujung jari hingga di atas kedua siku. Sedangkan dalam masalah pencurian dan semacamnya, yang dimaksud al-yadd adalah dari ujung jari hingga tulang awal lengan yang sejajar ibu jari (yaitu pergelangan tangan).
Al-mirfaqaini adalah pertemuan antara tulang lengan atas dan lengan bawah.
Fardhu wudhu yang ketiga adalah membasuh kedua tangan dan bagian yang ada pada keduanya, seperti rambut, bisul, dan kuku. Yang berwudhu wajib menghilangkan penghalang pada tangan seperti kotoran yang melekat selain keringat, jika tidak susah menghilangkannya. Jika berupa keringat atau susah menghilangkan kotoran itu, maka tidaklah masalah. Begitu pula diperbolehkan adanya kulit bisul, walaupun mudah untuk dihilangkan. Hukum semacam ini berlaku pada kedua tangan, juga berlaku pada anggota wudhu yang lain.
الرَّابعُ: مَسْحُ شَيْءٍ مِنَ الرَّأْسِ.
[4] mengusap sebagian kepala,
Kepala adalah nama bagi sesuatu yang tinggi. Kepala sudah makruf kita ketahui.
Al-mashu artinya wushulul balal, yang penting basah.
Fardhu wudhu yang keempat adalah sampainya basah walaupun tanpa adanya perbuatan dari pelaku, baik diusap atau dibasuh atau selain keduanya hingga terkena sebagaian dari kulit kepala atau rambutnya dengan syarat rambut itu tidak keluar dari batas kepala jika dijulurkan dari arah turunnya.
Apabila tangannya basah dan diletakkan di atas kain yang ada di kepalanya, lalu basah itu sampai ke kepala, maka dianggap telah mengusap kepalanya.
الْخَامِسُ: غَسْلُ الرِّجْلَيْنِ مَعَ الْكَعْبَيْنِ.
[5] membasuh dua kaki hingga mata-kaki,
Ka’bain adalah tulang yang menonjol yang terdapat pada sendi betis dan telapak kaki.
Fardhu wudhu yang kelima adalah membasuh kaki hingga kedua mata kaki dan belahannya. Wajib menghilangkan sesuatu yang terdapat pada belahan kaki, seperti lilin dan semacamnya jika tidak sampai ke bagian dalam daging.
السَّادِسُ: التَّرْتِيْبُ.
[6] tertib (berurutan).
Fardhu wudhu yang keenam adalah tertib yaitu mengerjakan rukun 1 sampai 5 sesuai urutan. Jika tidak sesuai urutan, maka tidak sah wudhunya.
[Arti Niat dan Tertib]
النِّيَّةُ: قَصْدُ الشَّيْءِ مُقْتَرِناً بِفِعْلِهِ. وَمَحَلُّهَا: الْقَلْبُ. وَالتَّلَفُّظُ بِهَا: سُنَّةٌ. وَوَقْتُهَا، عِنْدَ غَسْلِ أَوَّلِ جُزْءٍ مِنَ الْوَجْهِ.
وَالتَّرْتِيْبُ: أَنْ لاَ يُقَدَّمَ عُضْوٌ عَلَى عُضْوٍ.
Fasal: niat adalah menyegaja sesuatu yang dibarengi dengan mengerjakannya dan tempat niat ada di dalam hati. Melafazhkannya adalah sunnah. Waktu niat adalah saat membasuh bagian pertama dari wajah. Maksud tertib adalah bagian yang pertama tidak didahului bagian yang lain.
—
Niat berarti al-qashdu, keinginan. Letak niat adalah di dalam hati, tidak cukup dalam lisan, tidak disyaratkan melafazhkan niat. Berarti, niat dalam hati saja sudah teranggap sahnya.
Apa dalil untuk tartib (berurutan) dalam wudhu?
Dalilnya adalah ayat wudhu (surah Al-Maidah ayat 6). Allah menyebutkannya secara berurutan dan meletakkan mengusap (pada kepala) di antara dua membasuh.
Juga ketika ditunjukkan praktik wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu berurutan dan beliau tidak pernah meninggalkan tartib tersebut.
Tartib dalam wudhu adalah dengan memulai dari membasuh wajah, lalu membasuh kedua tangan sampai siku, lalu mengusap kepala, kemudian membasuh kedua kaki sampai mata kaki.
Jika seseorang membasuh langsung empat anggota wudhunya satu kali siraman, maka tidaklah sah kecuali yang sah hanya membasuh wajahnya saja karena urutannya yang pertama. Lihat perkataan Imam Asy-Syairazi. (Al-Majmu’, 1:248)
SUNNAH-SUNNAH WUDHU
- Bersiwak
- Membaca bismillah
- Mencuci kedua telapak tangan hingga pergelangan tangan
- Madhmadhah (memasukkan air ke dalam mulut)
- Istinsyaq (menghirup air ke hidung)
- Menggabungkan antara madhmadhah dan istinsyaq
- Berwudhu tiga kali tiga kali
- Mengusap seluruh kepala
- Mengusap kedua telinga, bersama lubang telinga
- Menyela-nyela jari tangan dan kaki
- Muwalah, tidak sampai ketika mengusap yang kedua anggota yang sebelumnya kering
- Tayamun, mendahulukan yang kanan
- Ithalah al-ghurrah wa at-tahjiil, melebarkan membasuh wajah, kedua lengan, dan kedua kaki
- Tidak meminta tolong dalam berwudhu
MAKRUH WUDHU
- Meninggalkan madhmadhah (memasukkan air ke mulut) dan istinsyaq (menghirup air ke hidung)
- Tidak mendahulukan yang kanan
- Bersuci dari bekas wanita
- Menambah lebih dari tiga, dalam keadaan yakin
- Kurang dari tiga basuhan
- Meminta tolong membasuh anggota wudhunya tanpa ada uzur
- Berwudhu dengan air yang tergenang
- Israf (boros) dalam menyiram
- Haram menggunakan air yang disediakan untuk diminum dan masih menjadi milik orang lain padahal belum diketahui ridanya
Baca Juga:
- Safinatun Naja: Mukadimah, Rukun Islam, Rukun Iman, Syahadat
- Safinatun Naja: Hukum Air, Sebab dan Cara Mandi
—
Catatan 28-09-2021
Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com